Selamat Datang Di Blog Himpunan Mahasiswa Teknik Lingkungan Universitas Serambi Mekkah Banda Aceh

Blog ini merupakan kumpulan/arsip tugas kuliah dan juga r eferensi perkuliahan Mahasiswa Teknik Lingkungan Universitas Serambi Mekkah Banda Aceh

Minggu, 28 Juni 2009

AIR BERSIH DAN SANITASI PASCA TSUNAMI

AIR BERSIH DAN SANITASI PASCA TSUNAMI Gempa bumi dan Tsunami terjadi dalam waktu yang hanya sesaat. Tetapi akibat sesaat dan dampaknya yang mengerikan membutuhkan penanganan yang panjang. Air laut membabat habis apa saja yang dilaluinya. Tsunami juga merendam sumur-sumur penduduk, sawah yang entah sampai kapan bisa dimanfaatkan. Belum lagi akibat langsung. Sebuah catatan kondisi tanggal 7 Januari 2005, NAD terlukis sebagai kota tak bertuan. Pelayanan aparat birokrasi di Pemerintahan Daerah lumpuh, perekonomian rakyat lumpuh, disetiap tempat yang aman terdapat tenda-tenda darurat dan puluhan pengungsi. Banyak warga masyarakat kota Banda Aceh kehilangan sanak keluarga, harta benda dan tidak sedikit yang mengalami trauma akibat bencana tsunami, karena menurut ceriteranya air laut pasang sampai 10 kilo meter, memasuki kota Banda Aceh, sehingga kehidupan di Serambi Mekah, baik dibidang politik, sosial budaya dan ekonomi bahkan nuansa kehidupan Islami seakan tertindih beban berat. Sebagai gambaran catatan yang diperoleh dari Kantor Walikota Banda Aceh (tanggal 11 Januari 2005), penduduk Kota Banda Aceh yang menjadi korban gempa bumi dan gelombang tsunami yang diperkirakan mengungsi adalah sebagai berikut : 1. Kecamatan Ulee Kareng 9.708 jiwa 2. Kecamatan Syiah Kuala 5.974 jiwa 3. Kecamatan Lhung Bata 3.620 jiwa 4. Kecamatan Baiturrahman 6.915 jiwa 5. Kecamatan Banda Raya 5.674 jiwa 6. Kecamatan Kuta Alam 2.400 jiwa 7. Kecamatan Jaya Baru 100 jiwa 8. Kecamatan Kuta Raja 20.217 jiwa 9. Kecamatan Meuraxa 31.218 jiwa. Para pengungsi warga kota Banda Aceh tersebut tersebar di 45 titik pengungsian di 7 (tujuh) wilayah Kecamatan (kecuali Kecamatan Meuraxa dan Kuta Raja yang kondisi fisiknya hancur total dan rata dengan tanah). Mereka hidup dan berteduh di berbagai tempat baik di Masjid, mushola, kantor, sekolah dan bahkan tenda-tenda darurat. Kondisi fisik dan lingkungan akibat bencana alam diberbagai daerah di Propinsi NAD, khususnya yang berhadapan langsung dengan Samudera Hindia atau pusat gempa bumi, seperti Kabupaten Aceh Jaya dan Kabupaten Aceh Barat lebih parah dari kondisi kota Banda Aceh, disamping sarana dan prasana umum hancur total serta pelayanan pemerintahan lumpuh juga sampai beberapa hari wilayah ini terisolir, baik dari bidang transportasi maupun komunikasi, sehingga tim bantuan dan relawan tidak mendapat akses kelokasi tersebut akibatnya ribuan mayat bergelimpangan diberbagai lokasi bencana seakan lamban tertangani. Berbagai bantuan makanan dan pakaian beberapa hari kemudian baru dapat dikirim kedaerah ini melalui udara, itupun hanya dapat dilakukan melalui bantuan pesawat helikopter yang dapat terbang rendah dan melemparkannya dari atas helikopter. Baru genap tiga bulan gempa bumi dan gelombang tsunami mendera bangsa Indonesia, kini lagi-lagi bangsa Indonesia dikejutkan dengan adanya gempa bumi yang cukup besar dialur samudera yang sama, terjadi pada tanggal 28 Maret 2005, sekitar pukul 23.10 Wib, menimpa Pulau Nias , Sumatera Utara dan Pulau Simeulue, Nanggroe Aceh Darussalam dan beberapa propinsi sekitarya. Kembali kerugian jiwa dan materi yang tidak sedikit terulang. Kerusakan terparah dan korban jiwa yang terenggut gempa bumi ini paling parah dialami warga masyarakat Gunung Sitoli, ibu kota Kabupaten Nias. Pada kasus ini penanganan pasca gempa bumi juga mengalami keterlambatan, namun penyebabnya agak berbeda, yaitu tidak tersedianya alat berat yang dapat mengangkat reruntuhan bangunan. Namun juga sebagaimana bencana alam di NAD beberapa waktu lalu, kelangkaan air bersih pasca gempa masih menjadi persoalan yang tiada habisnya dalam masa penanganan darurat musibah gempa bumi di Nias. Penanggulangan bencana Keputusan Presiden Nomor 3 Tahun 2001. Keputusan Presiden Nomor 111 Tahun 2001, Pemerintah telah menetapkan Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi (BAKORNAS PBP) merupakan wadah atau institusi yang bertanggung jawab jika terjadi bencana alam. BAKORNAS PBP diketuai oleh Wakil Presiden RI dengan anggota terdiri dari para Menteri terkait, dengan tugas-tugas: 1. Merumuskan dan menetapkan kebijakan penanggulangan bencana dan penanganan pengungsi yang cepat, efisien dan efektif 2. Mengkoordinasikan pelaksanaan serta memantau kegiatan penanggulangan bencana dan pengungsi secara terpadu 3. Memberikan pedoman dan pengarahan terhadap usaha penanggulangan bencana dan penanganan pengungsi meliputi: pencegahan, penyelamatan, rehabilitasi dan rekonstruksi. Selanjutnya untuk tingkat Daerah Provinsi dibentuk Satuan Koordinasi Pelaksana Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi (SATKORLAK PBP) diketuai Gubernur dan Satuan Pelaksana (SATLAK) PBP yang diketuai oleh Bupati/Walikota untuk Daerah Kabupaten dan Kota. Namun untuk bencana alam gempa bumi dan gelombang tsunami tanggal 26 Desember 2004 di Wilayah Barat Indonesia tersebut ( Provinsi NAD dan Sumatera Utara ) yang dinyatakan sebagai bencana nasional, institusi/wadah penanggulangan bencana dan pengungsi yang ada menjadi tidak berfungsi dan bahkan dapat dikatakan lumpuh total. Bencana gempa bumi dan gelombang tsunami tersebut merupakan pengalaman pertama dan terbesar untuk wilayah Indonesia, dimana dari 21 (dua puluh satu) Kabupaten/Kota diwilayah NAD hampir 2/3 nya lumpuh akibat dampak bencana gempa dan tsunami, sementara jumlah korban jiwa lebih dari 120.000 orang meninggal dunia dan kerusakan sarana / prasarana pemerintahan dan fasilitas umum / fasilitas sosial untuk masyarakat hancur, sehingga otomatis hampir semua SATKORLAK dan SATLAK di seluruh wilayah NAD tidak berfungsi. Air bersih dan sanitasi sebagai primadona Penyediaan air bersih dan sanitasi lingkungan pada kondisi normal, berdasarkan aturan otonomi daerah adalah menjadi kewenangan Pemerintah Daerah, karena air bersih dan sanitasi lingkungan merupakan kebutuhan dasar manusia, sehingga kewajiban penyediaannya adalah tanggung jawab Daerah yang bersangkutan. Tetapi dalam kondisi darurat pasca bencana alam penyediaan air bersih dan sanitasi lingkungan menjadi sangat dilematis, mengingat air bersih dan sanitasi adalah sangat penting dan berguna untuk tetap terjaganya kondisi kesehatan minimal masyarakat, khususnya pengungsi dari wabah penyakit kulit dan diare. Apalagi dalam kondisi bencana alam nasional, air bersih dan sanitasi menjadi primadona, karena tidak saja dibutuhkan oleh pengungsi tetapi juga para penduduk yang hanya terkena imbas bencana alam dan para relawan baik yang tergabung dalam kesatuan-kesatuan resmi seperti PMI, crew media, Tim SAR dan Satuan tugas TNI – POLRI. Sebagaimana kasus bencana alam gempa bumi dan gelombang tsunami di NAD, air bersih dan sanitasi lingkungan (sang Primadona) menjadi benda langka dan ekonomis yang tidak saja dibutuhkan oleh para pengungsi, tetapi juga setiap pendatang/relawan yang berada di wilayah NAD, khususnya disekitar kam-kam dan masjid/mushola serta prasarana umum lainnya yang aman dari bencana. Pengalaman menunjukkan bahwa kebutuhan air bersih dan sanitasi MCK (mandi, cuci dan kakus) pasca bencana tsunami di NAD, khususnya disekitar Posko Darurat Bencana, di belakang pendopo rumah Gubernur dan sekitarnya sangat memprihatinkan. Lokasi yang dihuni oleh tidak kurang dari 1000 orang yang berasal dari aparat pemerintah pusat, relawan (Indonesia dan Asing), crew media televisi, mahasiswa IPDN, Tim SAR dan bahkan pengungsi hanya tersedia 5 sampai 8 buah tempat mandi, cuci dan buang air besar serta untuk kepentingan dapur umum. Itupun kadang kala air bersih yang tersedia tidak lancar mengalir, sehingga dapat dipastikan apabila pagi hari dan sore hari terlihat penumpukan peminat MCK yang antri menunggu giliran, tidak pandang bulu apakah pejabat, anak kecil, wanita ataupun pasien yang sudah kritis rela berdiri berlama-lama menunggu lowongan. Sementara waktu yang dibutuhkan antri ketika jam sibuk tidak kurang dari setengah jam, itupun jika pengguna MCK yang telah lebih dahulu mendapat kesempatan menyadari bahwa ini fasilitas umum dan dalam kondisi darurat. Kemudian jika menyaksikan kegiatan relawan Jerman dan Australia yang mengolah air sungai kota Banda Aceh menjadi air bersih dalam kurun waktu yang tidak terlalu lama, maka akan dapat disaksikan pemandangan yang cukup mengesankan. Warga masyarakat dengan sabar mengantri kebutuhan air bersih yang kebetulan masih dalam proses, sementara jatah yang diberikan hanya satu jerigen per-orang. Apabila diperhatikan panjang antrian setiap hari dapat mencapai 100 sampai dengan 300 meter. Di titik pengungsian (bertenda) di halaman station TVRI Banda Aceh, setiap hari diperlukan air bersih paling sedikit 200 drum untuk keperluan kebutuhan sehari-hari para pengungsi yang jumlahnya mencapai 3000 orang, sehingga tinggal mengalikan berapa hari mereka mengungsi di lokasi tersebut. Pemandangan seperti ini (antri untuk keperluan air bersih dan sanitasi) setiap hari selalu terlihat di NAD pasca bencana alam. Dengan demikian untuk sementara dapat disimpulkan bahwa betapa pentingnya air bersih dan sanitasi bagi kehidupan manusia. Air bersih tidak saja untuk keperluan dapur, tetapi juga untuk kebersihan, kesehatan dan bahkan untuk ibadah (berwudlu) bagi kaum muslimin. Apalagi jika dikaitkan dengan keimanan warga muslim, dimana dalam Hadis Nabi Muhammad SAW dinyatakan bahwa “Kebersihan itu adalah sebahagian dari Iman” maka pengadaan air bersih wajib tersedia dan mutlak diperlukan dalam kehidupan kaum muslimin. Adalah sewajarnya, pengalaman pertama ini menjadi pelajaran dan diperhitungkan semua pihak utamanya pihak-pihak yang berkompetan, seperti BAKORNAS PBP, SATKORLAK dan SATLAK PBP atau Instansi yang bertanggung jawab dalam penyediaan air bersih dan penyehatan lingkungan, misalnya perumusan ketentuan/aturan yang kongkrit dan pernah diujicobakan pada Daerah-daerah bencana, bagaimana keperluan air bersih dan sanitasi pasca bencana dapat dengan cepat tersedia walau dengan sangat darurat sekali. Contoh kongkrit kiprah para militer Jerman dan Australia di NAD pasca tsunami, penyediaan air bersih dan MCK dengan mobil keliling, penyiapan bor dan pipa air, drum-drum dan lain sebagainya. Untuk kepentingan seperti ini pula kiranya tidak ada salahnya jika Pemerintah menjalin kerjasama dengan perguruan tinggi atau pihak ketiga seperti lembaga donor dan LSM guna merancang tehnologi yang tepat, efisien dan ramah lingkungan dalam pengolahan air bersih dan sanitasi pasca bencana alam. Keputusan penyedian air bersih dan sanitasi paska bencana Didalam pedoman praktis penanggulangan bencana dan kedaruratan yang bertanggung jawab dibidang penyediaan air bersih dan sanitasi adalah SATKORLAK/SATLAK PBP setempat dengan dukungan unsur kesehatan mengkoordinasikan penanganan di lapangan. Bahkan didalam pedoman tersebut juga dicantumkan kuantitas dan kualitas penyediaan air bersih dan sanitasi yang harus disiapkan telah ditentukan secara jelas. Tetapi pada prakteknya di lapangan ketidak tersediaan air bersih dan sanitasi pasca bencana yang sering dikeluhkan oleh para pengungsi sering ditanggapi secara lamban para pelaksana dilapangan, bahkan tidak jarang mereka saling melempar tanggung jawab. Berdasarkan pengalaman menghadapi berbagai bencana alam di Indonesia, maka perlu langkah kebijakan yang proporsional dalam mensikapi keperluan penyediaan air bersih dan sanitasi lingkungan, antara lain : 1. Untuk jangka pendek Pada situasi dan kondisi darurat bencana alam, kiranya perlu disiapkan mobil tangki air bersih dan MCK setiap Kabupaten/Kota (rawan bencana) yang dapat bergerak cepat, persiapan drum-drum penampung air, tehnologi pengolah air sungai, peralatan pengeboran air dan lain sebagainya yang siap dioperasikan 2. Untuk jangka panjang Perlu dibentuk organisasi resmi (Dinas Daerah) yang memiliki tugas pokok dan fungsi penanggulangan bencana alam di Daerah, namun pembentukannya harus selektif, seperti Daerah-daerah yang memiliki kerawan bencana alam, lokasi rawan bencana jauh dari jangkauan SATKORLAK/SATLAK, akses transportasi dan komunikasi kurang / tidak memadai dan lain sebagainya. Dengan adanya institusi yang legal jelas akan memiliki kelebihan-kelebihan: Insitusi memiliki landasan yang kuat dan bertanggung jawab untuk beraktivitas jika terjadi bencana di Daerahnya, rasa superioritas antar sektor ketika terjadi bencana dan mengalirnya bantuan baik personil maupun materi tidak akan membuka peluang terjadinya konflik kepentingan, daerah tentunya memiliki pemahaman yang mendalam terhadap situasi dan kondisi daerahnya sehingga akan mampu mendeteksi dini dan merencanakan penanggulangan bencana secara lebih akurat dan mengerahkan satuan LINMAS dengan tepat, kesiapan dan peran serta masyarakat dalam penanggulangan bencana alam dikoordinasikan dalam satu wadah yang legal, mempermudah koordinasi, integrasi, sinkronisasi dan pengendalian di lapangan. Segera disiapkan langkah kebijakan yang menyeluruh dengan melibatkan stakeholder terkait dibawah koordinasi BAKORNAS PBP, guna merancang penyediaan sarana dan prasarana pengolah air bersih dan sanitasi serta tenaga pelaksana yang terlatih dan memiliki kepedulian tinggi terhadap penderitaan rakyat. Kebijakan dan perencanaannya harus implementatif dilapangan dan dikoordinasikan oleh institusi yang paling berkompeten. Hal ini pula mengingat bahwa wilayah kepulauan Indonesia merupakan Daerah rawan bencana alam, khususnya gempa bumi, gunung meletus, tanah longsor, banjir dan kebakaran hutan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

k+f4o-